GERAKAN AKU CINTA INDONESIA

PENTINGNYA KECINTAAN DAN KEBANGGAAN atas bangsa dan Negara Indonesia menjadi salah satu latar belakang program Gerakan 1005 Aku Cinta Indonesia. Rasa bangga dan cinta terhadp Negara ini pun bisa diwujudkan dengan merubah sikap dan perilak terhadp Produk Dalam Negeri. Memang, tak mudah mendidik orang Indonesia mencintai dan menggunakan produk buatan dalam negeri. Alasan mulai kualitas hingga gengsi menjadi faktor utama mengapa produk buatan lokal tak bisa mengena di hati orang Indonesia. Tapia pa salahnya jika mencoba mendidik sejak dini penggunaan produk dalam negeri agar bisa menjadi suatu kebanggaan.

Proses Edukasi pemakaian Produk Dalam Negeri

Memakai batik dan kebaya dianggap sebagai pakaian resmi ke kondangan, Melihat seni tari atau pertunjukan ludruk dianggap sebagai hiburan orang kampung yang jauh dari kota. Anak muda memakai pakaian atau pernik dengan merek asing merupakan sebuah anggapan “anak gaul”. Susah memang, tapi itu sebuah kenyataan yang ada. Alhasil produk kita sepertinya dianggap produk orang kuno dan berkualitas rendahan. Tapi pernahkah anda tahu jika meubel buatan daerah pasuruan kita ini menjadi barabf berkelas di sebuah gerai meubel elit di sebuah Avenue di New York, Amerika Serikat. Tas dan sepatu kulit buatan Tanggulangin-Sidoarjo menjadi barang yang mewah di sebuah mal di Muenchen-jerman.

            Di negeri kita malah aneh. Para orang kaya lebih bangga memakai tas atau sepatu kulit buatan negeri italia. Anak muda kita lebih dianggap “fungky” jika memakai kacamata buatan Oakley atau kaos Rip Curl, sementara kaos buatan distro lokal hanya dianggap sebagai barang pengganti jika uangnya tak cukup untuk membeli barang bermerek asing. Jika saya boleh mebagi, sebenarnya jika dilihat dari pemakai produk, konsumen kita dibagi menjadi 3 (tiga) kelas, usia anak (mulai 0 tahun hingga 14 tahun), usia produktif (mulai 15 hingga 50 tahun), dan usia tua (50 tahun ke atas). Di kelas usia produktif inilah banyaknya manusia melakukan konsumsi produk apa saja. Mereka membeli berdasarkan trend dunia, kelas satu kasta, dan merek.

Kesuksesan Batik Fshionable

Baiklah , kita menganggap batik mulai dianggap sebagai tonggak “edumarketing” awal untuk program cinta produk Indonesia. Mulai pendidikan dasar hingga menengah atas, serta lingkungan kerja ada anjuran untuk menggunakan batik sebagai seragam, inilah upaya yang cukup positif mencintai Produk Dalam Negeri. Tapi yang lebih sedikit membanggakan ketika anak-anak muda atau orang Indonesia berusia produktif mulai memakai batik sebagai hal yang fashionable, Hal ini dikarenakan, banyaknya para public gigure mulai menjadikan batik sebagai fashion yang cukup unik untuk ditampilkan ke public. Para artis muda, anggota band-band terkenal hingga yang dianggap bahasa sekarang, “anak alay”, mengkombinasikan kostum panggungnya dengan batik. Ujungnya kali ini batik mempunyai banyak varian dan model yang pantas dipakai anak kecil hingga dewasa. Sedikit banyak para public figure pemakai batik memberikan contoh yang sangat baik terhadap penggunaan yang sangat baik terhadap penggunaan produk garmen lokal.

Sempat di beberapa pameran produk unggulan di Jawa Timur, ada yang membuat “buerger krawu” khas Gresik buatan anak ITS Surabaya, di mana nasi krawu yang dikemas layaknya “junk food” yang digandrungi anak-anak muda. Ada juga jajananpasar dengan menggunakan bahan baku 100 persen lokal dan tanpa pengawet dengan bentuk boneka yang lucu yang cukup unik, yang dahulu cenderung tak menarik perhatian. Selain menyerap tenaga kerja, produk-produk makanan dalam ketahanan pangan. Inilah yang bisa merubah pola konsumsi dan melakukan diverifikasi pangan.

Edukasi-edukasi penggunaan Produk Dalam Negeri semacam inilah yang mungkin bia merubah paradigm yang selama ini orang menganggap produk Indonesia kalah dengan produk dari luar negeri. Di sinilah perlu komitmen dari semua pihak baik pemerintah maupun komitmen dalam negeri mengembangkan potensi dalam negeri, merangkak di mata milai (climbing the value chain) dengan terus mendorong pemberdayaan Usaha Kecil Menengah (UKM) serta melakukan revitalisasi pasar. Memang masih banyak bagaimana mencintai produk dalam negeri, namun memang perlu waktu yang cukup panjang untuk menjadikan produk Negara kita menjadi raja dan Berjaya di negeri sendiri. Paling tidak mulailah dari kita bangga memakai produk dalam negeri